Dipublikasikan: Selasa, 02 September 2025

PLTS, Energi Bersih untuk Mewujudkan Masa Depan Bebas Karbon

Di tengah isu perubahan iklim global, sektor energi menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Di Indonesia, sebagian besar listrik masih dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batu bara dan diesel, yang melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah signifikan. Rata-rata, setiap 1 kWh listrik dari sumber energi fosil menghasilkan sekitar 0,85 kg CO₂ ke atmosfer.

Berbeda dengan pembangkit berbahan bakar fosil, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan listrik tanpa emisi langsung. Setiap kWh listrik dari PLTS pada dasarnya merupakan energi ‘bebas karbon’. Secara sederhana, bebas karbon berarti proses pembangkitan energi tidak menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂) yang berdampak pada pemanasan global.

Perbandingan: Listrik Fosil vs. Listrik Surya

  1. Listrik dari Batu Bara/Diesel
    Setiap kali bahan bakar fosil dibakar, proses ini melepaskan CO₂ ke udara bersama asap dan polutan lainnya. Di Indonesia, setiap 1 kWh listrik yang dihasilkan dari PLTU berbahan bakar batu bara rata-rata meninggalkan jejak karbon sekitar 0,85 kg CO₂.
  2. Listrik dari PLTS (Panel Surya)
    Sebaliknya, panel surya menghasilkan listrik dengan menangkap energi cahaya matahari tanpa proses pembakaran. Karena tidak ada emisi CO₂ yang dihasilkan secara operasional, listrik dari PLTS dikategorikan sebagai energi bebas karbon.

Apakah PLTS Benar-Benar Nol Emisi?

Meskipun sering disebut sebagai energi bebas karbon, kenyataannya tidak ada teknologi energi yang benar-benar nol emisi sepanjang siklus hidupnya. Proses produksi panel surya, inverter, dan baterai masih memerlukan energi, yang sebagian besar berasal dari sumber berbahan bakar fosil. Selain itu, kegiatan transportasi, distribusi, hingga pemasangan sistem juga menghasilkan emisi tambahan.

Namun, kabar baiknya adalah jumlah emisi tersebut relatif kecil dibandingkan dengan listrik berbasis fosil. Bahkan, emisi yang timbul selama proses produksi panel biasanya dapat “terbayar” dalam 1–2 tahun pertama pemakaian. Setelah itu, selama 20–25 tahun masa pakainya, PLTS dapat menyediakan listrik yang hampir netral karbon.

Cara Menghitung Jejak Karbon

Rumus sederhana untuk menghitung emisi karbon yang dapat dihindari dengan menggunakan PLTS adalah sebagai berikut:

Emisi yang Dihindari (kg CO₂) = Energi dari PLTS (kWh) × Faktor Emisi PLN (kg CO₂/kWh)

Di Indonesia, faktor emisi PLN rata-rata adalah 0,85 kg CO₂/kWh. Artinya, setiap 1 kWh listrik dari PLTS dapat mencegah pelepasan sekitar 0,85 kg CO₂ yang biasanya dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Dampak PLTS dalam Angka

Skala PLTS Kapasitas Sistem Produksi Energi (kWh/tahun) Emisi dihindari (kg CO2/tahun) Setara Manfaat Lingkungan
Rumah Tangga 3 kWp 3.600 3.060 ±150 pohon ditanam/tahun🌳
Desa (Komunal) 100 kWp 120.000 102.000 Hemat ±45.000 liter solar
Skala Nasional (1 juta rumah, 3 kWp) 3 GWp (3.000 mWp) 3.600.000.000 (3,6 TWh) 3.060.000.000 (3 juta ton) Kontribusi siginfikan ke target Net Zero 2060

Dari tabel ini terlihat jelas bahwa bahkan pemasangan PLTS berskala kecil di rumah tangga pun dapat memberikan dampak besar jika dilakukan secara masif.

Penutup

PLTS bukan hanya soal mengurangi biaya listrik, tetapi juga tentang menjaga bumi agar tetap layak huni. Setiap kWh energi matahari yang dimanfaatkan berarti mengurangi emisi karbon yang terlepas ke atmosfer. Investasi pada PLTS adalah langkah kecil dengan dampak besar: udara yang lebih bersih, iklim yang lebih stabil, dan masa depan yang lebih hijau untuk generasi mendatang.

Sebagai bagian dari komitmen terhadap energi bersih, PT Horizon Teknologi hadir sebagai konsultan energi terbarukan yang berfokus pada solusi tenaga surya. Dengan pengalaman dalam desain, perencanaan, dan implementasi sistem PLTS, PT Horizon Teknologi siap membantu rumah tangga, perkantoran, hingga industri untuk beralih ke energi surya secara efisien, tepat guna, dan berkelanjutan.